Hariangaruda.com I Pekanbaru - Kekuasaan pada mulanya adalah sesuatu yang diwariskan, dijaga, bahkan dipertahankan oleh seorang Raja seumur hidupnya. Ia memerintah berlandaskan dekrit, hukum, dan tradisi yang berlaku pada zamannya.
Namun ketika semua sistem pemerintahan telah berjalan dan berpihak kepada rakyat muncullah “tirani” yang tampil seolah penyelamat.
Ia punya karakter pemimpin, namun ia membelokkan arah sistem yang ada, mempengaruhi barisan yang ia bentuk sendiri, hingga memantik pemberontakan dan meruntuhkan tahta sang Raja. Hancurlah jadi debu.
Dalam penyesalan setelah kejatuhan, sang Raja baru menyadari tangan kanan yang ia percaya justru menjadi awal kehancuran.
Para menteri, jajaran kerajaan, hingga rakyat akhirnya membelot. Hanya satu tindakan yang menjadi pemicu, aturan upeti (pajak) yang mencekik rakyat.
Kisah singkat ini adalah penggalan tulisan National Geographic Indonesia yang disunting kembali agar lebih ringkas, cepat, dan mudah dipahami.
Dan ketika bicara kekuasaan mari kita tarik ke Bumi Lancang Kuning.
Publik terhenyak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi senyap pada Senin (03/11/2025).
Seorang Gubernur Riau Abdul Wahid bersama sejumlah pihak lainnya diamankan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK.
Tiga orang telah ditetapkan tersangka oleh KPK, yakni Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR-KPP Muhammad Arif Setiawan, serta Tenaga Ahli Dani Nursalam.
Jika ditarik garis naratif, alur kekuasaan kali ini tak jauh berbeda dengan kisah Raja di atas, hanya berbeda sistem dan zamannya.
Setiap roda kekuasaan tetap membutuhkan “tangan kanan” orang kepercayaan yang membantu mengelola kebijakan, jabatan, hingga tata kelola pemerintahan.
Namun ketika kepercayaan diberikan seutuhnya, sementara moralitas tidak terjaga, maka semua bisa runtuh dalam sekejap.
Karir yang dibangun bertahun-tahun oleh Abdul Wahid, serta reputasi yang disusun dari bawah sebagai politisi legislatif hingga melesat ke panggung nasional lalu maju kembali sebagai pemimpin daerah kini seperti disambar petir di siang bolong. Hancur lebur, tak bersisa,
Dalam pandangan masyarakat awam, kekuasaan dapat menjadi jebakan jika akal sehat dan kontrol diri tak lagi menjadi tujuan utama.
Hikmah dari kisah ini sangat jelas,
memimpinlah dengan hati-hati, jangan berbuat dzalim, jangan lupakan jasa orang lain, dan selalu ingat bahwa kekuasaan bukanlah milik abadi.
Seperti sebutir berlian ia berkilau selama masih berada dalam genggaman. Namun ketika terlepas, ia hanya menjadi batu biasa. Sama halnya dengan harga diri dan kehormatan. Semuanya akan sirna ketika kekuasaan runtuh.
Maka mari intopeksi bersama !!! untuk seluruh kepala daerah di Bumi Lancang Kuning, perbaikilah sistem yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Jadikan peristiwa OTT ini sebagai pelajaran pahit yang tak perlu terulang di masa mendatang.
