Hariangaruda.com I Pekanbaru — Riau kembali menjadi sorotan dalam peta pertambangan ilegal nasional.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, provinsi ini menempati urutan kedua terbanyak praktik tambang tanpa izin (PETI) di Indonesia, dengan 24 titik aktivitas ilegal tersebar di berbagai kabupaten.
Temuan itu diperkuat oleh pernyataan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Yusuf Ateh, yang menyebut sekitar 300.000 hektare tambang ilegal di kawasan hutan akan segera disita oleh negara.
Langkah ini dijalankan atas perintah langsung Presiden Prabowo Subianto untuk menyelamatkan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp700 triliun.
Ketua Komisi III DPRD Riau, H. Edi Basri, S.H., M.Si., menyambut baik langkah tersebut.
Menurutnya, pembiaran terhadap praktik tambang ilegal bukan hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, tapi juga berkontribusi pada hilangnya potensi pendapatan negara.
"Kami mendukung penuh langkah BPKP, karena ini persoalan serius. Di Riau, PETI bukan hal baru, dan sayangnya selama ini penindakannya tidak maksimal," ujar Edi saat dihubungi, Sabtu, 28 Juni 2025.
Komisi III, kata Edi, juga mendorong pemerintah daerah dan aparat penegak hukum di tingkat lokal untuk bersinergi dalam menutup celah praktik pertambangan tanpa izin, termasuk menyasar jaringan distribusi dan penadah hasil tambang ilegal.
Sebelumnya, Yusuf Ateh menegaskan bahwa penyitaan lahan tambang ilegal akan dilakukan bersama Kejaksaan Agung, TNI, dan Kepolisian.
Tambang yang menjadi sasaran antara lain penghasil emas, bauksit, timah, dan batu bara.
"Perintah Presiden jelas: kuasai dulu lahannya, baru kenakan denda. Ini akan jadi tambahan penerimaan negara bukan pajak," kata Yusuf dalam forum Leader’s Corner, Kamis (26/6/2025)
Riau dalam Peta PETI Nasional
Riau menjadi provinsi dengan jumlah PETI tertinggi kedua setelah Sumatra Selatan (26 lokasi), disusul Sumatra Utara (11 lokasi).
Beberapa kabupaten yang rawan PETI di Riau antara lain Kuantan Singingi, Kampar, Indragiri Hulu, dan Rokan Hulu.
Menurut Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, praktik tambang ilegal bukan hanya merugikan negara, tetapi juga memicu konflik horizontal dan krisis ekologis.
"PETI mencakup seluruh tahapan, dari eksplorasi hingga produksi, termasuk penampungan dan penjualan hasil tambang. Semuanya bisa dikenai pidana lima tahun dan denda Rp100 miliar," ujarnya dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI tahun lalu.
Aturan pidana tersebut termuat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Pasal 158, 161, dan 161A secara tegas mengancam siapa pun yang melakukan penambangan tanpa izin, menyalahgunakan izin, atau menampung hasil tambang ilegal.
Jaringan dan Aktor Lokal
Sejumlah pegiat lingkungan di Riau menduga, keberadaan PETI tidak bisa dilepaskan dari peran aktor-aktor lokal, termasuk oknum aparatur dan tokoh masyarakat yang melindungi operasi tambang liar.
Di lapangan, kegiatan PETI kerap berlangsung terang-terangan, menggunakan alat berat, dan menjual hasil tambang ke luar daerah tanpa pengawasan.
Salah seorang aktivis lingkungan kepada Riau Satu beberapa waktu lalu menilai, lemahnya penegakan hukum membuat para pelaku merasa kebal.
Edi Basri berharap langkah BPKP menjadi awal dari tindakan tegas terhadap mafia tambang di daerah.
"Selama ini, kita melihat PETI tetap berjalan meski sudah dilaporkan. Artinya, ada jaringan yang kuat menopang bisnis ini," pungkasnya.